Cukup Satu Souad

▒ Lama baca 2 menit

KISAH NYATA YANG MENYENTUH, MENGGUGAH, MENGGUGAT.

souad

“Untung, aku nggak terlahir di negeri seperti itu,” kata Day, anak saya, si pemilik buku. Itu dia katakan ketika saya belum membaca buku yang dia pilih bulan lalu.

Souad, sang penutur, hidup dalam keluarga yang menganggap sapi dan domba lebih berharga ketimbang anak perempuan. Bukan hanya keluarganya. Puaknya pun begitu. Jirannya juga. Seisi desa sama. Demikian pula desa tetangga di balik bukit.

Anak perempuan di sana boleh dicambuk, dipukul, dijambak, dibenturkan kepalanya ke tembok, diikat di kandang semalam, disuruh makan selayaknya anjing dengan menjilati piring. Setiap hari. Oleh ayahnya. Setahu ibunya. Pada abad ke-20 — dan mungkin sampai abad ini.

Di sana, anak perempuan bukanlah berkah, kecuali kelak ketika laku dinikahkan dan besan memberinya perhiasan mahal sebagai emas kawin.

Untuk menghasilkan uang, tak butuh waktu lama bagi ternak. Bandingkan dengan jangka waktu bayi perempuan tumbuh menjadi gadis remaja yang memetik haid untuk pertama kalinya.

Perempuan bukannya seratus persen diemohi. Mereka tetap diperlukan untuk dihamili, agar melahirkan anak lelaki, karena lelaki tak mungkin membuntingi sesamanya.

Souad tahu bahwa ibunya lebih sekali mencekik bayi perempuan sampai mati begitu orok tak berzakar itu terlahir.

Souad juga tahu bahwa adik lelakinya membunuh adik perempuannya atas perintah orangtuanya, demi martabat keluarga.

Di desa Souad, nun di Tepi Barat Palestina yang diduduki Israel, lelaki dan martabat keluarga adalah segalanya. Jangankan bukti sahih, cukup dengan sangkaan yang diyakini sebagai kebenaran bersama pun seorang anak perempuan boleh disiksa dan dibunuh.

Suatu malam Souad menguping rapat keluarga. Vonis sudah dijatuhkan untuknya. Esok pagi eksekusi dilaksanakan. Abang iparnya mengguyurkan bensin lantas membakarnya hidup-hidup.

Souad sedang hamil lima bulan ketika dia dibakar. Dia hamil oleh cinta pertama yang menggebu sekaligus naif dan aneh, di tengah lingkungan yang mengungkungnya, karena menatap lawan jenis adalah terlarang.

Souad dibakar, tapi jiwanya selamat, dengan membawa luka tubuh dan luka jiwa, bahkan setelah dia hidup di negeri baru bernama Swiss, tempat dia mencoba menjadi manusia baru, punya suami dan anak. Souad punya dua putri hasil perkawinannya dengan lelaki yang berpengertian, dan satu putra yang terlahir prematur setelah ibunya dibakar.

Derita Souad seperti dipindahkan kepada pembaca. Geram, sakit dengan permukaan tubuh membusuk, nelangsa, bingung, putus asa, dan akhirnya optimisme, dituturkan lancar dalam bahasa (hasil terjemahan hebat!) yang menyentuh. Sekali memulai baca Anda enggan untuk menutup buku.

souadJika Anda lelaki, mungkin akan merenung: harus dibegitukankah setiap perempuan yang menjelma sebagai ibu Anda, kakak perempuan Anda, adik perempuan Anda, kekasih Anda, istri Anda, dan putri Anda?

Apa yang menimpa Souad bukanlah berlatar agama, melainkan kultur. Tapi di mana batas toleransi kita terhadap perbedaan adat jika perbedaan itu tak sesuai dengan adab hidup manusia modern? Buku ini seperti menanyakan soal itu.

Ada hukum, ada polisi, tapi apa artinya jika menoleransi pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak perempuan sebagai urusan internal keluarga, apapun alasannya.

Hari-hari Souad, sejak kecil di tanah pertanian sampai dia mencoba menjadi manusia baru, terpapar jelas di sini. Dia bertutur karena kebiadadan harus dihentikan, tak perlu lagi ada Souad baru.

Membukukan kisah. Sebuah keputusan yang tak gampang. Bukan hanya karena dia tak lancar membaca maupun menulis (buta huruf sejak kecil, baru bisa membaca Quran setelah di Eropa) seperti wanita dewasa lainnya, melainkan juga harus berdamai dengan hati.

Sungguh mengharukan dukungan dari Marwan, anak lelakinya yang terpaksa dia izinkan diadopsi oleh keluarga lain, yang mendapatkan kisah setelah dia menjadi sinyo tampan.

Buku yang saya baca ini adalah cetakan ketiga. Banyak orang yang sudah membacanya, termasuk Anda. Saya berharap ada cetak ulang berikutnya, karena berarti semakin banyak yang membaca buku yang memang wajib dibaca ini.

Lantas siapa sesungguhnya Souad? Identitasnya masih dirahasiakan. Dia tahu kesumat atas nama kehormatan keluarga bisa menempuh ribuan kilometer untuk dituntaskan.

JUDUL: Burned Alive: Kisah Nyata yang Mencengangkan tentang Seorang Perempuan yang Lolos dari Pembunuhan Atas Nama Kehormatan • PENULIS: Souad (Penerjemah: Khairil Azwar) • PENERBIT: Alvabet, Jakarta, September 2006 (cetakan ketiga) • TEBAL: vi + 296 halaman • HARGA: Rp 35.000

Tinggalkan Balasan