Orang itu (Bacaan Selagi Prei)

▒ Lama baca 4 menit

YANG KONTROVERSIAL ITU DIA ATAU KITA?

huahahahahahaha!Buku Beribu Alasan… ini seperti melawan arus. Saat tulisan demi tulisan tentang keburukan, kejahatan, kekejian, kelicikan, keculasan, ketamakan, kebengisan, dan kebusukan orang itu terus muncul, buku ini tampil beda.

Buku karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage ini menyuarakan kekaguman dan kerinduan sejumlah orang terhadap orang itu. Sebuah buku yang menjadi kado ulang tahun ke-85 orang itu.

Bagi Dewi, reformasi memberikan kebebasan, tapi tak menghasilkan kesejahteraan. Ehm, misalkan setelah orang itu turun dari singgasana tak ada kebebasan, buku macam ini tentu tak akan muncul.

Setelah mempelajari banyak bahan, dan berdiskusi dengan banyak orang, Dewi sadar bahwa masih banyak orang yang “menghormati, mengagumi dan memuji” kepemimpinan orang itu. Maka dia menyimpulkan, “Ternyata banyak kelebihan yang tak terungkap.” (Pengantar, hal. 11).

Adapun Lazuardi, kalau pernyataannya saya ringkas, yakin bahwa orang itu punya banyak jasa, sehingga tak adil jika semua kesalahan ditimpakan kepadanya — apalagi dia sudah tua dan sakit-sakitan, tak pantas jika dihujat terus.

Namun kenapa pula masih ada saja orang yang menistakannya? Memaksanya untuk “bertanggung jawab” secara hukum atas “kesalahan” yang belum tentu benar-benar miliknya? (Pengantar, hal. 14)

Plus-minus seorang manusia

Orang itu bukan the holy man. Sama seperti manusia lain dia juga punya kekurangan maupun kelebihan, keburukan maupun kebaikan, jasa mapun cela.

Saya juga tahu diri, manusia kadang tak bisa dinilai secara hitam-putih, sebagai iblis atau malaikat. Maka saya bisa maklum dan menoleransi, sekaligus menghargai perbedaan pendapat, jika masih ada orang yang memuji bahkan merindukan orang itu.

Kardi (45), pedagang sayur di Cikupa, Tangerang, mengenang, semasa orang itu berkuasa ada saja pembelinya. Sekarang pembeli sedikit, tapi penjualnya yang banyak. (Bukan kutipan langsung oleh saya, hal. 251).

Tentang hujatan, sejauh saya ingat, peringatan awal agar kita tak menghujat orang itu justru datang dari Megawati, musuh politik orang itu. Istilah “hujat”, “menghujat”, “dihujat”, dan “hujatan” yang tak sering terdengar dalam obrolan sehari-hari kemudian menjadi hidup lagi pada awal reformasi.

Kenapa baru terbit sekarang?

Beranikah buku ini terbit saat eforia setelah 21 Mei 1998? Pertanyaan ini tidak fair.

Sama saja menanya mungkinkah buku-buku yang saya sebut dalam kalimat kedua, paragraf pertama, itu diterbitkan pada saat orang itu berkuasa.

Tapi pertanyaan balik saya barusan juga tidak adil. Untuk tulisan yang membahas hari-hari setelah orang itu mengundurkan diri (sampai hari ini) tentu tak mungkin muncul sebelum 21 Mei 1998. Kalau ada, itu namanya ramalan jitu.

Bagi saya, buku ini punya hak untuk hadir sebagai penyeimbang dalam khazanah pustaka tentang orang itu. Perbedaan kita dengan orang itu, dan rezimnya, adalah dalam toleransi terhadap kebebasan berpendapat. Kalau (misalkan gitu, lho) kita ingin buku itu dilarang, apa bedanya dengan dia dan rezimnya (dan pendukungnya) yang selalu ingin memonopoli kebenaran dan mau menangnya sendiri?*)

Menimbang orang itu

asusehatSiapakah dia: orang baik atau jahat, siapakah yang mesti menetapkan dia benar atau salah?

Dengan pendekatan sok spiritual kita bisa bilang, timbangan bukan ada pada kita, melainkan pada Sang Penimbang Agung; keputusan pun ada pada Sang Hakim Maha Agung (yang tentu bukan di Mahkamah Agung).

Di sisi lain, orang yang terlalu percaya kepada kelebihan manusia akan menangkis: jika semua hal diserahkan kepada kekuasaan di atas manusia, kapankah kita bisa membuktikan bisa memegang mandat untuk menata kehidupan bersama agar menjadi lebih baik.

Rumit dong? Dalam beberapa hal enggak kok. Malah kadang saya berpikir, untuk urusan tertentu orang itu tidak kontroversial. Kitalah yang mencetak dia sebagai kontroversi. Kalau akan diinterogasi dan diadili dia sakit, tapi kalau didiamkan dia sehat, bahkan bisa menggugat Time, setelah itu jalan-jalan.

Wajar sih. Maling ayam tua bangka penyakitan yang jadi tersangka maupun terdakwa, padahal punya hipertensi esensialis, kalau stres juga kumat darah tingginya. Itu berbahaya.

Persoalan ada di kita, bukan orang itu. Sebagian dari kita yang kalah wibawa, pernah berutang budi, dan memang ngefan berat, menganggap tindakan hukum yang tegas terhadapnya, melalui pengadilan terbuka, adalah penistaan.

Sebagian dari yang tak tega itu berlagak melupakan sejarah bahwa orang itu pernah bilang “mikul dhuwur mendhem jero” terhadap Soekarno, padahal yang dia lakukan adalah kebalikannya.

Memperlakukan Soekarno

asuMasih lebih enak nasib orang itu daripada pendahulunya. Soekarno dikenai tahanan rumah, berpindah-pindah tempat akhirnya di Wisma Yaso, tak leluasa menerima kunjungan keluarga. Catatan medisnya raib. Resep untuk obat Soekarno (dia mengidap darah tinggi dan batu ginjal) tak pernah diurus oleh seorang dokter militer. Bahkan untuk menambal gigi bolong pun Soekarno dan dokter giginya tak leluasa.

Menurut Rachmawati Sukarnoputri kepada sejarawan Asvi Warman Adam dan Dokter Kartono Mohamad, 22 Mei 2006, urine ayahnya dulu diperiksa di laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Apakah sedarurat itu kondisinya?

Kartono menyatakan (dikutip dalam buku lain), “Saya juga cenderung menduga bahwa Bung Karno ‘dibiarkan meninggal’ tanpa perawatan medis yang seharusnya (bandingkan dengan perawatan Soeharto saat ini).”

Pemakaman Soekarno pun diatur oleh orang itu, bukan keluarga almarhum. Kenapa di Blitar, alasannya supaya dekat makam ibundanya. Padahal Soekarno punya wasiat sendiri, ingin dimakamkan di Bogor.

Kedua buku Asvi, yang saya beli sebelum Lebaran, bareng buku karya Dewi dan Lazuardi, itu mengemas apa yang selama ini sudah jadi buah bibir tapi belum basi.

Memperlakukan lawan politik (dan bekas sekutu)

asulagiBuku karya Eros Djarot mengemas ulang kesaksian sejumlah pelaku sejarah tentang G30S/PKI. Kita boleh percaya, boleh meragukan. Namanya juga kumpukan pengungkapan subyektif kan?

Menarik, bahwa Eros, yang wartawan-sutradara-musisi-politikus itu, menyatakan bahwa Arifin C. Noer, sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI, sedih melihat hasil akhir karyanya. Sebagai sutradara Arifin tunduk kepada sutradara politik.

Keanehan dan kesimpangsiuran seputar G30S/PKI itulah yang disampaikan Eros dalam bukunya, dengan arah orang itu sebagai sutradara, dan CIA sebagai produser film.

Bagi Asvi, tak ada pelaku tunggal dalam G30S/PKI. Tapi untuk menyebut orang itu sebagai dalang, tentunya butuh bukti. Yang pasti orang itu diuntungkan dan tahu cara memanfaatkan peluang dari karut-marut politik.

Dalam bukunya, Asvi seperti mengingatkan kita bahwa orang itu tega hati terhadap lawan. Yang disebut lawan adalah mereka yang PKI atau di-PKI-kan dan siapapun yang bertentangan dengan dirinya (ingat bagaimana dia memperlakukan anggota Petisi 50?), termasuk bekas sekutu.

Perihal perlakuan terhadap bekas sekutu, Eros juga mengungkap serupa. Latief dan Untung adalah orang yang secara pribadi dekat dengan orang itu. Bahkan Latief sudah mengingatkan orang itu bakal terjadi sesuatu.

So, gimana baiknya?

Ah, sudahlah. Begitu mungkin kata sebagian orang. Biarkan semuanya menggantung, dan setelah Kehendak Alam memanggilnya maka orang akan rikuh membahas keburukan almarhum.

Bisa juga ada tindakan yang hasilnya akhirnya sama, tapi langkah mulanya berbeda. Misalnya, “Lho tuntutan orang macam kalian kan adili orang itu, setelah divonis bersalah, lantas dimaafkan. Kalau niat kita memang memaafkan, pake aja cara simpel: langsung saja dimaafkan, nggak usah diadili. Selesai!”

Persoalannya adalah niat mengadili: lebih untuk membalas dendam atau mendidik rakyat bahwa siapapun di depan hukum sama, atau mengembalikan hasil jarahan kepada rakyat? Boleh jadi bakal ada jawaban: “Semuanya dong, Bang!”

Orang itu masih menjadi masalah kita. Bahkan penyebutan masa dia berkuasa pun kita belum sepakat: 31 tahun, 32 tahun, atau 33 tahun?

Kalau 31 tahun, itu sejak 1967 (menjadi pejabat presiden). Kalau 32 tahun, itu sejak 11 Maret 1966. Kalau 33 tahun, sejak 1 Oktober 1965.

Menurut Asvi, jika 32 tahun yang kita pakai, maka pembantaian terhadap mereka yang dianggap sebagai komunis menjadi tanggung jawabnya.

Mungkin orang yang dimaksud Asvi itu merasa berkuasa selama 32 tahun. Pada Hari Raya Kurban, Januari 2006, orang itu menyumbang 32 ekor sapi. SBY, yang baru setahun memerintah, menyumbang seekor sapi.

Andaikan orang itu mau bicara

Masih banyak, dan akan bertambah, atau malah semangkin banyak, buku yang mana daripada mengupas orang itu. Kalau saja orang itu juga menerbitken daripada buku, mungkin lebih asyik.

Bagaimanapun orang itu punya hak untuk menjawab, menyangkal, membenarken, atau malah menyajiken daripada kisah baru — terlepas dari soal dia akan diadili (lagi) atau tidak. [Menurut saya, harus diadili]

Siapa tahu lho serial pernyataan orang itu bisa dibisniskan lewat SMS atau layanan web berbayar; hasilnya untuk amal. :D

JUDUL: Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto • PENULIS: Dewi Ambar Sari & Lazuardi Adi Sage • PENERBIT: Jakarta Citra, Jakarta, Agustus 2006 • TEBAL: 362 halaman • HARGA: Rp 50.000

JUDUL: Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia • PENULIS: Asvi Warman Adam • PENERBIT: Ombak, Yogyakarta, Maret 2006 (Edisi revisi, cetakan kedua) • TEBAL: xxv + 219 + halaman • HARGA: Rp 30.000

JUDUL: Soeharto Sehat • PENULIS: Asvi Warman Adam, Baskara T. Wardaya, George J. Aditjondro, Hersri Setiawan, Isalah Gusmian & Mudhofir Abdullah • PENERBIT: Galang Press, Yogyakarta, 2006 • TEBAL: 297 halaman • HARGA: Rp 38.000

JUDUL: Siapa Sebenarnya Soeharto : Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI • PENULIS: Eros Djarot dkk. • PENERBIT: Mediakita, Jakarta, September 2006 (cetakan kedua) • TEBAL: vii + 297 halaman • HARGA: Rp 26.000

*) Mohon jangan mencabut kalimat pertama ini dari konteks (paragraf) saat mengutip :P

Tinggalkan Balasan