BIARPUN KETINGGALAN ZAMAN, TELKOM HARUS MENYEDIAKAN.
Kapan itu saya mengajari anak bungsu saya menggunakan telepon umum. Itu perlu karena sebagai anak modern (haha!) dia kudu tahu cara menggunakan telepon umum koin (TUK). Siapa tahu suatu saat membutuhkan. Misalnya karena pulsa habis atau sinyal selular lemah.
Memang ada dua kenyataan yang menjadikan kita kurang akrab dengan telepon umum berkoin. Pertama: harga ponsel memurah, nomor mudah didapat, sehingga anak kecil pada berponsel. Kedua: tak semua TUK bisa dipakai.
Di pusat-pusat perbelanjaan masih ada TUK. Tapi apakah semuanya dapat dipakai? Beberapa kali, secara acak, saya menjumpai telepon umum yang rusak.
Taruh kata penyediaan TUK itu tak memberikan pemasukan yang berarti, Telkom mestinya tetap menjalankan pelayanan sosial. Biarpun receh, itu menyangkut citra lho, Bos.
Sekarang tengoklah dua deretan boks telepon umum yang mengapit gerbang Telkom STO Gambir, Jakarta Pusat. Dari 16 dudukan hanya delapan yang terisi. Masih untung, semuanya tampak sehat. Maksud saya, ketika gagang saya angkat, display kecil itu menyala.
Mestinya semua TUK bisa untuk mengontak ponsel, interlokal, dan bahkan internasional. Bahwa semakin mahal percekapan berarti semakin banyak koin, itu lain soal.
Saya belum mengecek, apakah telepon umum kartu masih bisa menerima pangggilan. Bagusnya sih setiap telepon umum juga bisa menerima panggilan.
Bahwa penerimaan halo-halo di telepon umum bakal memperlama pembicaraan, biarlah kontrol sosial yang bekerja. Kalau antreannya panjang (apa sekarang masih ada?), pasti akan menegur si pengobrol.
Yang menjadi kewajiban Telkom adalah menyediakan sebanyak mungkin telepon umum dan menjamin bahwa semua pesawat sehat.
Ehm, dalam sinetron maupun tayangan film Indonesia di TV itu masih ada adegan menelepon dari TUK nggak sih?
UPDATE: Yang saya maksud TUK di sini adalah TUC (telepon umum coin). Kalau TUK itu telepon kartu. Terima kasih untuk koreksi iPoul