Saved by the Bell

▒ Lama baca < 1 menit

MISALKAN EDITOR KORAN DAN ANGGOTA DPR MENGAJAR SMP DAN SMA.

gedung mahkamah konstitusi

Sebuah guyon. Lebih enak jadi guru fisika, kimia, dan matematika. Bisa kasih les privat. Jadi guru IPS, sejarah, dan kewarganegaraan itu sulit ngobyek. Sudah muridnya tambah pintar dan kritis, eh… persoalan Indonesia makin ruwet. Badan-badan pemerintah bertambah, konstitusi sudah direvisi, ada otonomi, parlemen susah dipahami, dan seterusnya.

Ah, saya teringat kerepotan guru saya yang suka ndobos itu. Saya pernah bertanya, apa bedanya Golongan Karya dan partai lainnya, toh Golkar (waktu itu belum menjadi partai) menjalan fungsi parpol.

Daripada menjawab pakai guyon tapi bakal dianggap bego, Pak Wagu bekas aktivis GMNI itu memilih menghindar, “Yah, itu buat renungan.”

Lain hari saya bertanya, pemilu itu bebas dan rahasia, kenapa pegawai negeri dan keluarga tentara harus nyoblos Beringin. Dia diam, lantas bel berbunyi. Saved by bell.

Setelah saya agak dewasa barulah saya paham: berbahaya bagi guru berbaju Korpri untuk mengritisi situasi aktual.

Ini seperti Pak Kolonel dosen kewiraan yang meminta pertanyaan tertulis. Saya bertanya, kenapa Indonesia bermuka dua. Menyebut “Samudra Indonesia” tapi ketika berurusan dengan negara lain bilang “Samudra Hindia”. Tak ada jawaban. Sama seperti terhadap pertanyaan apa bedanya dwifungsi dengan militerisme.

Cerita lain? Seorang dosen Salatiga yang punya ribuan buku dan rajin menulis terbahak-bahak sepulang dari Penataran P4 (aduh, singkatan apa sih?). Menurutnya, para penatar gelagapan menghadapi sanggahan yang bertubi dari para peserta. Untunglah, kedewasaan peserta dan belas kasihan dari mereka bisa menyelamatkan penatar berbaju safari. Orang pintar sebaiknya memang bijak.

Ah, itu masa lalu, ketika kebebasan berpendapat hanya dimiliki oleh seorang presiden yang merasa dirinya raja, dan para punggawa mengamininya.

Tapi sekarang, ketika kebebasan berpendapat sudah didapat, masih ada guru noneksakta yang kerepotan.

Hmmm… saya punya ide. Sesekali kepala desk politik maupun desk hukum (juga desk ekonomi) koran dan majalah berita sebaiknya mengajar di SMP dan SMA, sekadar untuk menghadirkan peta persoalan. Maksud saya, untuk menambah bingung guru dan murid.

Supaya murid dan guru tambah pusing, sebaiknya anggota DPR (terutama yang bermasalah) juga kasih studium generale. Begitu pula menteri, ketua lembaga tinggi negara, gubernur, walikota dan bupati.

Akankah celoteh mereka menjadi bahan untuk soal ulangan dan ujian? Wah, saya bukan ahli pendidikan. Teng! Eh, tettttt! Bel berbunyi. Maaf.

Tinggalkan Balasan