KITA BUTUHKAN, KITA EMOHI…
Entah sudah berapa versi papan nama itu berwujud dan terpaku pada batang pohon dekat kantor saya. Cukup dengan satu kata: “ojek”. Tapi jarang sekali, bahkan belum pernah, saya pergoki satu ojek pun di situ. Mungkin waktunya tak cocok. Saat dia atau mereka ada, saya tak melintas.
Saya berharap tak ada motor sial, yang selagi berhenti di situ langsung dicengklaki orang sambil memberi perintah, “Ke pintu tol, Bang!” Padahal motor itu dan penunggangnya sedang menunggu seseorang.
Saya pernah keliru, untung pakai menanya dulu, ketika mencari ojek di depan Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. “Saya lagi njemput, Mas!” kata si penunggang motor dengan nada kesal. Saya pun meminta maaf. Saat itu memang jam bubaran toko. Motor penjemput pramuniaga berkerumun.
Saya juga pernah disangka sebagai tukang ojek. Saya sih santai saja menerimanya, tapi anak saya yang tak terima. Saat itu Day masih TK kecil. Saya menjemputnya dengan skuter butut.
Teman Day, yang selalu berjalan kaki, berteriak, “Hoiii! Asyikk ya! Kamu sekarang pake langganan ojek!” Anak saya menyahut, “Ini bapakku, bukan ojek, tau?!”
Selama dalam perjalanan dan kemudian di rumah, susah juga menanamkan pengertian kepada anak seusia itu, “Kalau Bapak jadi tukang ojek, apa kamu keberatan? Apa salahnya, itu kan mencari nafkah?”
Tentu reaksi setiap orang, ketika disangka atau disebut sebagai pengojek, berbeda.
Seorang cowok dendam bukan main ketika mendengar cewek yang tadi merengek minta diantar, sesampainya di tujuan enak saja bilang kepada temannya sambil mengunyah permen karet, “Biasa, dianter ojek langganan.”
Kalau gaya Benny Rachmadi dalam komik Lagak Jakarta* lain lagi. Seturun dari ojek, si pembonceng akan bergaya akrab terhadap tukang ojek seraya bilang terima kasih selayaknya terhadap teman yang memberi tumpangan.
*) Benny Rachmadi, Lagak Jakarta: Transportasi (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1997)
© Ilustrasi: Benny Rachmadi