↻ Lama baca < 1 menit ↬

KETIKA PENATA KOTA MATI AKAL.

trotoar di mal ciputra

Andaikan semua postur orang Indonesia seperti bule, maupun tinggi-gagah-tegap seperti Windede, maka berpapasan di trotoar ini menjadi semakin tak nyaman. Tubuh pelintas akan saling bergesekan. Apalagi jika masing-masing pelintas itu gempal-tegap, menyelipkan dua bungkus Dji Sam Soe di lengan yang terbalut kaus ketat…

trotoar di mal ciputraPara penata trotoar sudah kehabisan akal, sehingga mengabaikan patokan Pak Neufert tentang lebar lorong untuk dua orang. Trotoar utama dibelah menjadi tiga, disekat pagar. Bagian terlebar diisi tanaman.

Bukan hal baru, tapi kondisi di depan Mal Ciputra dan Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat, ini kadung diterima tanpa protes terbuka dari pengguna jalan.

trotoar di citraland

Masalahnya bukan (cuma) antropometri. Akar masalahnya klasik: urbanisasi, sektor informal, dan kebingungan pengelola kota. Ketika krismon menghimpit kehidupan rakyat, maka toleransi terhadap pedagang kaki lima pun diperlonggar.

gadis kecil pengemis di trotoar citralandSetelah krismon memudar — tapi tidak untuk semua orang — jejalan pedagang kaki lima (PKL) kadung berbiak. Solusinya, sejak beberapa tahun lalu, ya seperti tergambar di sini.

Trotoar makin sempit. Tak nyaman untuk berpapasan. Jalur yang sempit itu masih diisi oleh pengemis dan pedagang (terutama depan kampus Untar).

Saya tidak anti-PKL. Bahkan saya termasuk konsumennya. Saya pun tak setuju bila mereka digebah seperti ayam. Tapi saya juga butuh trotoar yang nyaman dan aman untuk melenggang.

Sayang, para gubernur dan calon gubernur tak pernah melintasi trotoar. Saat inspeksi, semuanya tampak beres dan lancar jaya.

trotoar di citraland

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *