↻ Lama baca 2 menit ↬

MANUSIA TANGGUNG TAK RASAKAN KEHADIRAN REMBULAN.

rembulan saat listrik padam

listrik padamPet! Tiba-tiba gelap. Tadi malam itu, pukul sebelas, selagi menjelajahi blog, tiba-tiba lampu padam. Gelap. Di luar juga. Rumah lain juga padam. Saya menengok ke luar. Listrik sekompleks padam semua.

Kedipan indikator ponsel menjadi penyelamat. Saya raih benda itu. Saya pijit sembarang tombol agar LCD-nya menyala. Sejauh saya tahu, produsen ponsel tak pernah mengiklankan fungsi ekstra barangnya sebagai lentera. Eh ada sih, tapi untuk suar selagi dugem. Goyangan handset akan menghasilkan efek warna. Selebihnya, apapun merek dan tipenya, ponsel menjadi pengganti korek api untuk memanggil waitress.

Lumayan, ponsel lawas itu bisa membimbing saya untuk mengambil Maglite Mini dalam ransel. Seterusnya adalah menemukan senter besar yang meredup, menyalakan lilin, memeriksa kamar anak-anak (dan kamar ibunya). Semua masih tertidur pulas.

Berikutnya saya menenangkan kedua anjing saya. Lantas saya keluar. Menyalakan sentolop mungil itu. Tumben tak ada sahutan dari senter lain. Senin malam tadi rupanya saat yang melelahkan, tetangga sudah pada tidur. Beberapa rumah tetap gulita.

mati lampu gerobak bakmi melintas

Ketika gerobak bakmi melintas, petromaksnya menerangi sekitar. Ada rasa senang sekilas. Setelah itu kembali gelap dan senyap. Oh tidak, saya ralat. Tak terlalu gelap pekat. Ada rembulan.

Yah inilah manusia tanggung, tak pernah peka terhadap kehadiran rembulan. Hanya dalam gelap Candra terasa.

Saat itu saya membatin, kapan terakhir kali berkemah? Kapan terakhir membelah malam dengan berjalan kaki, bersepeda, maupun bersepeda motor, hanya diterangi rembulan?

Alangkah jauhnya usia berjalan, semua kenangan serasa di ujung belakang. Petak-umpet saat purnama seakan belum pernah saya alami. Tapi ditonjok sampai KO, selagi kelas dua SD, di bawah purnama, masih saya ingat.

mati lampuTentu tadi malam saya juga ingat bahwa siangnya saya ke kantor PLN dan di mana-mana melihat slogan “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”.

Listrik padam menjelang tengah malam sampai dini hari bisa mengantarkan saya pada lamunan melankolis. Sangat personal, sekaligus dangkal. Jangan dibandingkan dengan malam-malam gelap korban tsunami dan gempa bumi. Jangan dibandingkan dengan mereka yang terapung di laut lalu terdampar di hutan bakau setelah kapalnya karam. Jangan dibandingkan dengan New York saat blackout, yang diisi penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Tadi malam itu tak ada rasa was-was. Apa lagi setelah listrik kembali menyala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *