Komedi Sanggar Banjir Kiriman

▒ Lama baca 2 menit

CENGENGESAN. MAUNYA MENCERAHKAN. BERMULA DARI PECI SAMPAI PACARAN BEDA AGAMA.

da peci code ben sohib

da peci code ben sohibRosid, pemuda Arab Betawi itu, mungkin seperti Ahmad Albar muda: kerempeng dengan kribo yang mekar merimbun.

Begitu kribonya sehingga peci hanya akan bertengger di puncak belukar, bukan mewadahi sepertiga kepala. Dan justru dari situlah persoalan bermula. Kribo pengalang peci itu merembet ke mana-mana.

Kesan main-main sudah dimulai dari sampul. Ada gambar olahan Eja Assagaf yang meniru pose Mona Lisa, dan tentu saja buku The Da Vinci Code. Lalu teks “tidak memukau nalar tidak mengguncang iman!” dan “misteri tak berbahaya di balik tradisi berpeci”. Juga ada splash “kemungkinan best seller”.

Padahal masalahnya cuma peci. Eh, apa tadi? Cuma? Peci pula?

Ketika peci diceraikan dari urusan simbol dan tradisi, lantas ditempatkan sebagai penutup kepala semata, maka persoalannya memang “cuma”.

Tapi bagi Rosid dan Mansur, abahnya, ini soal prinsip. Bagi Abah ini soal tradisi islami Bani Gibran. Bagi Rosid, yang aktivis wadah inklusif Sanggar Banjir Kiriman di Condet, Jakarta Timur, tradisi puak adalah satu hal, dan nilai-nilai islami tidak bisa begitu saja disimpulkan dari sejulur akar budaya. Apa lagi peci juga dikenal di kalangan Nasrani dan Yahudi.

Sabtu siang saya buka plastik buku itu, lantas saya kunyah, dan saya pun teringat posting sebelumnya tentang baju koko.

Ben Sohib (37) seperti mengingatkan kita tentang peta di banyak agama, yang sering memampangkan kontur persinggungan tradisi “dan” ajaran asli. Kata “dan”, dalam beberapa kasus, bisa dibaca sebagai “versus” atau “kontra”.

Sohib juga mengajak kita mengenali kecanggungan pembaca, apapun agamanya, dalam memilah aliran. Apa yang “modernis” atau “revisionis” kadang justru “puritan” bahkan “fundamentalis” karena semangat kembali ke akar memang bisa mencuatkan koreksi yang mencolok.

Dalam peta itu kontroversi peci hanya contoh dalam lingkup kecil. Adapun RADIKAL (Remaja Didikan Allah), FORMALIN (Forum Masyarakat Anti-Aliran Lain), dan MODERAT (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat), hanyalah kembang cerita, yang terkesan merujuk contoh aktual.

Semuanya dikemas nakal dan kocak, bahkan sejak halaman pertama. Bahasanya lincah, tuturannya renyah. Bahkan konflik pun selalu disela guyon — akibatnya ketegangan pembaca mengendor, dan ini bikin saya agak kuciwa.

Sebagai pengantar ke arah perenungan, buku ini menarik karena tak menggurui. Tapi sayang pergulatan dua hati kurang menegangkan. Itulah temali kasih Rosid yang tak pernah mencium kekasihnya (plus jarang memanggil “sayang”) dan Delia si perokok yang berkalung salib.

Taruh kata ujung perjalanan asmara dibikin menggantung, ketegangannya dan sekaligus kepelikannya mestinya bisa lebih padat — dan membingungkan — agar dapat dibagikan kepada pembaca.

Lantas bagaimana dengan kribonya Rosid dan peci, akankah bersua mesra dalam sebuah tatakan kompromi? Baca sendiri dong!

JUDUL: The Da Peci Code • PENULIS: Ben Sohib • PENERBIT: Rahat Books, Jakarta, September 2006 • TEBAL: 326 halaman • HARGA: Rp 25.000

Tinggalkan Balasan