Tertarik kepada Ketertarikan Orang Lain

▒ Lama baca < 1 menit

KADANG KITA JADI KORBAN. KADANG KITA MEMANFAATKAN KERUMUNAN.

kerumunan di mal kelapa gading jakarta

Bocah yang duduk di bangku depen itu berdiri. Orang dewasa di sebelahnya, mungkin ayahnya, menyusul berdiri. Penumpang di belakang mereka juga berdiri. Penumpang di baris sebelah, dalam bus yang sama, segera berdiri.

Secara estafet penumpang lainnya berdiri, sementara bus terus melaju. Mereka yang berdiri mencoba menjadi jerapah dengan memanjangkan leher agar dapat melihat apa yang terjadi di depan bus.

Saya yang duduk di baris belakang tak ikut berdiri karena tak mendengar suara aneh, lagi pula laju bus Semarang – Sala itu normal saja. Di luar sana tak tampak jejeran warga desa berdiri seperti umumnya terjadi setelah ada kecelakaan lalu-lintas.

Kondektur kesal, menyumpah, karena tidak ada apa-apa. Kernet terbahak, memaki berulang kali.

Secara estafet, dalam koreografi tanpa pengarah, para penumpang kembali duduk, dengan tertawa, gerutu dan pisuhan. Bus terus melaju. Sopir menyumpah sambil terkekeh.

Pengalaman saat saya masih kuliah itu tak terlupakan. Bukan yang pertama dalam perjalanan, tapi kali itu peristiwanya lebih kuat. Apa yang dkatakan oleh orang pintar dan buku fotokopian, tentang kerumunan dan motif tindakan, telah terbukti. Tanpa contoh kasus yang destruktif. Hanya ada tawa dan pisuhan.

Karena kita punya kepedulian maka kita cenderung ingin tahu apa yang menarik perhatian orang lain. Ahad lalu, di depan sebuah toko game, hal sama terulang. Ketertarikan bisa menular, bahkan mengundang penasaran.

Berbeda dari peristiwa konyol dalam bus, mereka yang menggabungkan diri ke dalam kerumunan di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu bisa terlibat lima menit lebih. Ngapain aja?

tv wwfMereka berdesakan menonton TV di balik kaca. Ada tayangan gulat Amrik. Setelah itu kerumuman mencair. Tak lama kemudian kembali ramai.

Misalkan tak disela bedug magrib penanda berbuka puasa, polanya sama. Sudah agak lama saya mengamatinya sambil selonjor di kedai kopi Bengawan Solo. Orang datang, bertambah, berkerumun, berkurang jumlahnya, lalu sepi, kemudian datanglah pembentuk kerumunan berikutnya. Mereka tak saling kenal.

Sudahlah, tak usah berbelok ke politik dan euforia khalayak. Tengoklah bisnis. Berapa kali Anda kadang merasa GR karena menjadi pelaris kedai?

Seorang pemilik kedai bebek bengil, ketika mengawali usahanya, selalu menjadwalkan kehadiran koleganya untuk makan gratis saban hari. Kedainya selalu tampak ada pengudap. Karena (kabarnya) sajiannya memang lezat, bisnisnya sukses.

Penjual obat, yang menyajikan akrobat itu, membayar orang untuk menjadi pengerumun. Begitu pula penggelar judi kaki lima. Ada saja korbannya. Ada saja gerutu. Entahlah bagaimana yang terjadi dari sajian Technorati. :D

Tinggalkan Balasan