LAMA TAK MENDAPATI, BUAH ITU SAYA CICIPI LAGI.
“Ini apa? Kok warnanya mirip anggur?” tanya anak-anak saya. “Oh ini gowok. Sudah lama Bapak nggak lihat, makanya tadi beli di pasar,” jawab saya.
Sudah dua pertiga usia saya lalui tanpa buah gowok (Syzigium polysephalum). Saya bukan penggemar gowok, yang rasanya asem agak manis itu. Tapi waktu kecil, di Jalan Andong (nama pohon; bukan “andhong” yang sejenis dokar atau delman), Salatiga, Jawa Tengah, saya sering mendapatkannya secara gratis dari halaman tetangga. Bu Siswoyo, pemiliknya, selalu memberikannya kepada anak-anak.
Ketika kemarin pagi mendapati gowok di Pasar Cikini, Jakarta Pusat, saya tersengat oleh cubitan nostalgik. Tentang buah-buah kurang enak, tapi karena pilihan jajanan terbatas, ya diembat juga. Nggragas, kata orang Jawa.
Dulu ada wuni (buni) di kebon kosong berbelukar banyak ular. Ada juga duwet entah di kebun siapa. Lalu kepundung, langsep, dan kokosan yang rasanya jauh di bawah duku.
Di halaman depan rumah saya ada pohon gandaria, buahnya manis-asam, orang bilang enak buat disambal, tapi keluarga kami belum pernah mencobanya.
Bagi saya, dan adik saya, pohon gandaria itu adalah kerajaan kecil. Ada pertemuan dahan dan ranting yang enak buat tiduran, membaca, dan makan tape.
Gandaria, dan buah langka lainnya, termasuk gowok, tampaknya makin terpental dari peta konsumsi. Mungkin karena rasanya yang nanggung. Mungkin pula lantaran pohonnya tertebang oleh permukiman. Atau khasiat maupun cara pengolahan tak dikenal luas? Bu Pono PagiCoffee mungkin punya tinjuauan lain.
Gowok di Cikini itu dikulak dari Pasar Anyar, Bogor. Harga jualnya Rp 15.000 per kilogram. Saya beli setengah kilo, supaya ada alasan untuk memotret dan bercakap-cakap dengan penjualnya.
Tak sedikit kampung atau desa Jawa bernama Gowok (ketika menjadi nama tempat dieja sebagai “nggowok”). Mengingat kecenderungan toponimis biasanya berdasarkan vegetasi dominan, maka gowok dulu mestinya banyak banget — dan ada yang doyan. Bahkan sebuah tanah perdikan (ingat serial silat S.H. Mintardja?) ada yang bernama Gowok.
Entah apa hubungannya, gowok juga bisa berhubungan dengan erotika. Gowok, nggowok, nggowoki, gowok-gowokan adalah bagian dari praktik usang pendewasaan seorang remaja pria yang dilatih oleh wanita dewasa. ;)
Kalau hari gini masih ada orangtua yang menginisiasi sinyo culun dengan pergowokan, lantas prosesnya jadi blog Si Brondong dari Gua Gowok, mungkin bakal ramai pengunjung. Eh, maaf, ini bulan puasa ding.
Saya lupa, istilah apa yang dipakai oleh Ahmad Tohari dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Tapi seingat saya, si ronggeng pernah menggowoki putra juragan sebuah desa atas permintaan orangtua si cowok.