MUSIM BELANJA, MUSIM ANAK HILANG.
Bocah empat tahunan itu hanya bisa menangis. Pak Satpam kebingungan. Para pengunjung pusat perbelanjaan hanya sejenak terlibat, “Emang emaknya di mana?” Setelah itu mereka berlalu.
Mereka yang pernah kehilangan anak, walau sejenak, pasti bingung dan pusing. Saya sendiri waktu bocah pernah hilang gara-gara ngintil drumband Pemuda Ansor.
Saya bisa pulang sendiri, tapi rumah sudah kosong karena orang-orang mengantar saudara yang pindahan. Saya hanya duduk di teras. Tiada pelintas peduli karena teras teralang tembok dan halaman tertutup pagar hidup.
Ibu saya, dibonceng skuter Paklik, muter ke sana-sini, hampir melapor ke polisi. Bahagia dan haru saat ditemukan dan dipeluk Ibu itu tak terlupakan. Hingga dewasa saya tak melupakan kidung ini, padahal konteksnya beda: Muliha Anggèr, muliha dèn énggal / paranmu wus adoh, lakumu kesasar / adhuh cilaka / anggèr muliha / dèn énggal muliha. **
Pernah juga saya (ketika itu berumur tujuh tahun) dan adik saya ngeluyur malam. Tapi sial, eh untung, saya menyapa Pak Pendeta Belanda yang sedang berjalan-jalan bersama guguknya. Belum tiba di tujuan kami berdua sudah dipulangkan dengan VW kodok.
Tanpa harus menjadi Crayon Shinchan, setiap anak berkemungkinan terlepas dari orangtuanya. Untunglah beberapa TK dan sekolah membekali muridnya untuk menghadapi situasi sulit itu.
Tapi saya tak tahu apakah para satpam pusat perbelanjaan dan hiburan juga diajari cara menghadapi anak hilang. Satpam yang kebingungan, apalagi jengkel, jelas tak nyaman bagi si anak hilang.
Pramuniaga mestinya juga diajari soal begituan. Saya pernah mendapati bocah menangis yang kebingungan karena terpisah dari ibunya. Saya minta tolong pramuniaga yang dagangannya sepi untuk memanggilkan satpam. Tanggapan pertamanya, “Uhhh, mamanya mana sih? Belanja kagak inget anak!” Si bocah menangis lagi, lebih keras.
Suatu kali kantor saya punya gawe di Tunjungan Plaza, Surabaya. Ada anak hilang. Seorang pengunjung segera membawa anak itu ke panggung. Duo MC, yaitu Ujo dan Mirza, tanggap. Secara impromptu acara berubah jadi pemanggilan ibu. Setelah si ibu ditemukan, lalu naik panggung, penonton bersorak. Ada yang mencemooh kesal, ada yang ikut senang.
Bulan ini adalah hari-hari belanja keluarga, apalagi nanti setelah THR keluar. Ada saja kemungkinan anak terpisah dari rombongan. Kalau bapaknya yang (meng)hilang sih biarin aja, dengan ucapan semoga ada pramuniaga yang menemukan — tapi jangan lupa mengembalikan.
*) Suara khas public address system. Do yang terakhir seoktaf lebih tinggi. Suara “klothak” mikropon hanya dramatisasi.
**) Pulanglah Nak, segeralah pulang / langkahmu sudah jauh, jalanmu tersesat / aduh celaka / Nak, pulanglah / pulanglah segera