↻ Lama baca < 1 menit ↬

TENTANG DARMAJI DAN HAMDANI HARTOYO, BUKA KEDAI TANPA NGOYO.

sakae sushi jakartaKita makan secukupnya lantas pelayan kedai menghitung piring berdasarkan warna. Beda warna beda harga. Hanya matematika ringan, kan? Menjadi ribet kalau setiap piring punya banyak warna.

Tapi bagi orang tertentu itu bukan semata soal matematis. Ini soal besar: kesanggupan pengudap untuk tidak menukar piring makanan pada tatakan berjalan. Mungkinkah harga berdasarkan warna piring diberlakukan di semua kedai, termasuk kantin sekolah dan kampus bahkan terminal?

Seorang suster kepala sekolah di Bogor (Mpokb pasti tahu) pernah memberlakukan kantin jujur. Tak ada kasir, pembeli hanya menaruh uang pembayaran di wadah.

sakae sushiAda juga “warung gelap” dalam yang tak memiliki kasir. Uang pembayaran dan kembalian untuk pembelian kue, minuman, dan permen diurus sendiri oleh pembeli melalui sebuah stoples.

Nyatanya ada saja saja interaksi nyaman dan saling percaya dalam bisnis. Tapi bagi Bung Pesimis, Indonesia tak bakalan punya vending machine yang tersebar luas tanpa pengawasan. Tak bakal banyak kedai yang percaya begitu saja kepada pembeli. Alasannya, banyak orang bermental kere, padahal secara finansial bukan kere.

Ah, ini jelas menghina kere. Dia menganggap semua kere adalah penilap dan pengemplang. Teman saya, arek Suroboyo, punya istilah “Darmaji” — dhahar lima ngakune siji (memakan lima tapi mengaku ambil satu).

Kalau saja Bung Pesimis itu orang Surabaya, pasti dia akan berpantun, “Hamdani Hartoyo, dikandhani gak percoyo.”

sakae sushi jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *