↻ Lama baca < 1 menit ↬

KETIKA MINUMAN PELAYAN WARUNG BERCAMPUR DENGAN DAGANGAN.

lemari pendingin di warteg

cooler box @ wartegSelesai makan, saya raih botol plastik AdeS di samping piring itu. Lho, tanpa segel? Maka saya kembali ke kotak pendingin untuk menukarnya dengan yang bersegel. Ketemu lagi botol tak bersegel. Lebih dari satu.

Akhirnya saya dapatkan yang masih utuh. Beberapa perempuan pelayan warteg itu menahan cekikikan.

Saya pun komplen ke juragan warteg, “Kepriben kiye? Sing bener ya kalo jualan. Kesian yang beli kalo botol-botol yang sudah diminum itu ditarok di situ.”

Sabtu siang kemarin saya hanya komplen soal botol. Soal isi pendingin yang tak sesuai dengan persyaratan Coca Cola Amatil Indonesia, itu bukan urusan saya.

Tadi saya ke sana untuk sarapan. Botol tanpa segel tampaknya sudah raib. Tapi isi selain botol minuman justru bertambah. Biasa, perbekalan dapur.

cooler @ wartegSi Mbok pemilik warung mulai curiga dan kurang sreg ketika saya memotreti kotak pendingin itu, apalagi dengan membukanya. “Ana apa si ya kok kulkase dipotreki?” tanyanya. Hasil kerja terburu di bawah tatapan adalah foto kabur.

Hmmm. Saya teringat Mr Kong, teman saya, yang bersumpah takkan mendatangi sebuah cabang warung padang tenar. Suatu kali dia memergoki bahwa nasi yang dihangatkan lagi berasal dari sisa tamu. Ketika dia mempersoalkan hal itu, si pelayan menjawab bahwa hal itu sudah biasa.

Yang Mr Kong tak mau tahu adalah bahwa lauk yang tak habis, sudah diubek-ubek tangan tamu di piring, itu juga akan dihangatkan lagi dan dihidangkan. Beda dengan nasi, katanya.

Selalu ada peluang sial bagi pengudap. Belum lama ada kasus seorang konsumen pemergok kejorokan malah digugat oleh juragan kedai.

Kudapan mahal bukan jaminan aman dari bencana. Si Budi bisa bercerita tentang kegilaan pelayan resto yang mencampurkan sesuatu — aduh nggak tega saya untuk menyebutkan — ke dalam sup, seperti termaktub dalam Fight Club.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *