↻ Lama baca 2 menit ↬

ETIKA BISNIS PENGASONG. TAPI TAK BERLAKU LUAS.

pengasong rokok di samping mal ciputra

“Ke situ aja, bos!” kata Warjono (31), mempersilakan saya membeli rokok dari pengasong di sebelahnya. Dia dan temannya, Nuryadi, jongkok di batas tangga pelataran utara Mal Ciputra, Jakarta Barat, menantikan pengunjung keluar yang butuh rokok dan permen.

Itulah aturan main mereka berdua. Kalau dagangan Warjono sudah terbeli, maka pembeli berikutnya dipersilakan membeli dari Nuryadi. Begitu pula sebaliknya.

pengasong rokok bernama warjonoBisa begitu karena yang mengasong di sana cuma mereka berdua. Lebih dari itu mereka adalah kawan seperantauan yang bertolak dari kampung yang sama: Desa Cikakak, Kecamatan Banjarharjo, Brebes, Jawa Tengah. Ramadan ini mereka akan mudik sepuluh hari, tinggalkan musala tempat numpang mereka di Tanjung Duren.

Jika pengasongnya banyak, berlainan asal pula, mungkin aturan mainnya beda lagi. Terhadap pengandaian itu mereka hanya cengar-cengir.

Etika bisnis adalah soal baik dan buruk dalam mencari rezeki, tak mesti melebar sampai ke benar dan salah. Dalam lingkup tertentu setiap orang punya. Hanya ukurannya yang berbeda.

Dulu semasa sekolah, saya berencana jual jasa mengetikkan kartu mahasiswa pada suatu musim registrasi. Maklumlah waktu itu belum zaman komputer, tak setiap mahasiswa punya mesin tik. Kartu mahasiswa saya pun saya isi dengan Rugos.

Saya ingin menjual jasa separuh harga pasar. Pakai pita plastik Pelican, hasilnya akan seperti ketikan elektronik: tajam dan opaque. Tinggal bawa mesin tik manual, lantas ndeprok di pusat admisi dan registrasi, pasti laku. Tapi adik saya melarang. “Jangan gitulah. Kita memang bukan orang kaya, tapi mereka lebih butuh duit ketimbang kita. Kalo kita ngerusak harga, kasihan mereka,” katanya.

Hari itu saya batalkan ayunan langkah pertama kewiraswastaan. Etika kere membatasi saya. Tapi saya tak menyesal. Terbukti, dengan mesin tik manual itu saya bisa mendapatkan uang ratusan kali dari yang mereka petik, dan saya tak merasa merampas lahan siapa pun.

Tapi apa saja sih patokan etika bisnis? Kalau kita bilang nurani, termasuk nuraninya Siti Nuraini, itu pun masih belum jelas bentuknya. Guntar(ion) si Bintang Tauladan pernah menyinggung soal ini, dan saya menorehkan komentar yang rada nyiniyir di sana.

Apa yang kita yakini pantas dan baik, dan tak merugikan orang lain, bisa saja menurut orang yang lainnya lagi dianggap bodoh bahkan salah. Kalau kita nyaman, bahkan bahagia, dengan pilihan yang bodoh dan salah itu, tak masalah kan?

Tapi, hehehe, ketika kita tak menjalankan bisnis sendiri, karena jadi buruhnya orang lain, benturan nilai kadang terjadi. Apa boleh bikin. Seperti kata Tim Rice — penulis lirik hebat selain Bernie Taupin — dalam Chess (tanpa Webber): “Everybody’s playing the game, but nobody’s rules are the same.

Selamat beribadah di bulan Ramadan. Bagikanlah hikmah yang Anda petik untuk saya.

pengasong rokok di dekat mal ciputra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *