Asoy, Pakdhé!

▒ Lama baca < 1 menit

NAMA USAHA YANG AJAIB. KAMUS BESAR MENGAKUINYA.

PT Asoy, Jakarta

Dari mana datangnya nama dagang, hanya sang juragan yang bisa menjelaskan. Orang lain, termasuk saya, hanya bisa main tebak. Mungkin saja juragan biro perjalanan di Jakarta itu adalah orang tahun 70-an, yang di masa remajanya menggandrungi kata “asoy” (lebih mantabz dengan dobel “s”).

Setiap zaman mengenal kata khusus. Ada yang berumur panjang dan awet, ada pula yang sebentar. Dari yang berusia singkat itu ada yang kemudian hidup lagi. Asoy geboy, sebagai istilah jadul yang expired, kalau tak salah dihidupkan lagi oleh Naif.

Bahasa yang hidup selalu memperkaya dirinya. Istilah tak baku diserap, diakui keberadaannya, meski belum tentu dapat atau boleh digunakan dalam dokumen kenegaraan, termasuk dalam undang-undang.

Lihatlah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga, cetakan pertama, 2001, dengan sejumlah kekurangannya) sudah memasukkan “asoi” dalam lemanya. Kata tahun 80-an, yaitu “cuek”, juga sudah terlemakan. Kata “katro”? Belum. Mungkin nantinya kata akhir 90-an, misalnya “jayus”, juga terangkut — terlepas dari soal apakah kata itu masih laku.

Dari edisi ke edisi, kamus yang baik dan benar (pun fungsional dan menyenangkan) mestinya semakin tebal. Orang-orang Pusat Bahasa sebaiknya meminta masukan dari kalangan radio dan majalah remaja. Hai, misalnya, selalu punya daftar kata “cupu” (culun punya?). “Culun” juga ada di KBBI. *)

Saya tak risau dengan istilah tak baku. Biarlah para penuturnya berebut pengakuan kata. Sejauh saya tahu, remaja pun bisa membedakan mana kata yang pas untuk buku tahunan, katalog pensi, maupun karya tulis.

Untuk karya tulis, bahasanya diusahakan baku. Bila perlu penulisnya menggunakan pembukaan klise “pertama-tama kami panjatkan…”. Tanpa penutup “sokil gob!” pada akhir pengantar.

* ) Versi KBBI tentang “cu.lun” adalah “kecil: Kotamadya Cirebon bagaikan seorang gadis – – yang telah beranjak dewasa.” :D

Tinggalkan Balasan