DIBAYAR Rp 20 JUTA PER BULAN LHO. TEKA-TEKI JALUR REZEKI.
Olok-olok basi untuk orang gendut. Ketika dia menaiki penimbang berbayar koin bakal disambut suara robotis:
“Jza-ngan naeeck ber-sha-ma-an. Sat-chuh per sat-cuh sjza-dja. Di-mo-hon an-threeh. Boo-kann be-git-chu cha-rah-nyah ber-hai-mats. Che-ri-ma ka-sikh.” *
Terhadap kekurangsopanan itu seseorang yang berbobot lebih, temannya Budiwijaya, punya jawaban optimistis untuk saya, “Akan saya masukkan koin lagi.”
Inilah kehidupan. Apa yang berada di bagian tepi kurva normal akan dianggap menyimpang padahal belum tentu salah. Jadi mestinya, dalam komunitas orang gemuk mereka yang kurang gemuk dan sangat gemuk patut diledek.
Padahal persolannya mestinya ini: mau gemuk, sedang, atau kurus, yang penting sehat. Indah atau tak indah, itu hak asasi pemilik tubuh; dan juga soal selera orang lain terhadap postur tubuh, yang dipengaruhi oleh semangat zaman dan rayuan industrial.
Celakanya mereka yang seleranya berbeda dari arus utama akan dianggap sebagai pelawan, setidaknya nyeleneh.
Sungguh menyedihkan, jika arus utamanya memenangkan si langsing mengerempeng maka kasus anoreksia akan dilihat sebelah mata, hampir tanpa simpati. Itu cuma bagian dari perjuangan menuju keindahan tanpa lemak.
Bila arus utamanya memuliakan si gembrot, maka orang tambun akan dipuja — tak soal apakah mereka bermukim di Tambun (Bekasi) atau Condet (kampung Entong Gendut, Jakarta Timur). Adapun orang kurus akan dicap sebagai anggota klub binarangka. Apa boleh buat, suara mayoritas — meskipun sesat — akan dianggap suara dewa.
Bagaimana dengan iklan baris di Kompas** ini?
Jalur rezeki tetaplah sebuah teka-teki. Dia datang menjemput kita atau kita yang harus mencari dan menangkapnya?
—————–
*) Kalau alat timbangnya adil, maka ketika ada orang kurus naik bakal disambut, “Jza-ngan chou-bah-chou-bah chou-rang cyu-ma naeeck-kan sat-chuh ka-ki. Ah-yooh naeeck-kan dzua ka-ki An-dah.”
**) Lembar Karier, kelas “Lowongan Lain-lain”, Rabu 13/09/06 hal. 39 kol. 1