MERAKYAT, TIDAK CANGGIH, TAPI BERTAHAN.
Cuma kabut gula. Seperti kapas. Apa enaknya? Waktu kecil saya menganggapnya enak, tapi bukan enak sekali, lebih karena lapar oleh mata. Apa yang dimakan oleh anak lain tampaknya enak. Dengan keterbatasan duit yang setara, saya lebih memilih es mambo (es dalam plastik). Kalau toh sama-sama bikin batuk, itu soal risiko.
Arum manis, namanya. Harum manis, lengkapnya.
Harumkah? Tidak, kecuali diberi vanili.
Maniskah? Tentu, karena hanya berbahan gula.
Pembuatannya sederhana. Gula pasir dipanaskan dalam wadah berporos. Ketika gula mulai mencair maka poros wadah diputar cepat. Cairan lengket yang sudah ditetesi pewarna itu terlempar keluar sebagai kabut. Kemudian kabutnya ditangkap. Lalu diwadahi plastik. Supaya bersih dan… tidak mengempis.
Dari dulu begitu. Tak ada yang baru. Sekarang sekantong berharga seribu. Anak merengek akan dituruti ibu.
Tapi nanti dulu. Tiadakah yang baru? Ada sih. Sekarang penjajanya tak harus bersepeda. Bisa juga dengan kotak pikulan.
Dulu, sepeda penjual tak hanya menjadi pengangkut melainkan juga mesin. Penjual mengayuh pedal sepeda untuk memutar poros wadah pendidih gula. Dulu ada gurauan jahat bahwa sepeda jelek cocok untuk berjualan arum manis. Itu gurauan yang bisa mengakibatkan perkelahian.
Sekarang, tanpa sepeda, poros digerakkan oleh pedal injak, seperti pedal pada mesin jahit.
Juga sekarang, penjaja arum manis tak harus bersepeda maupun memikul kotak. Malam di tempat nongkrong Jalan Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, penjaja arum manis hanya memikul arum manis dalam plastik. Entah di mana dia membuat kabut gula.
Arum manis masih punya pembeli. Bagus juga untuk tema klip video dan film (sok) puitis.