↻ Lama baca 2 menit ↬

MEDIA TAHBISKAN MEREKA. KEHIDUPAN MEMANG AJAIB.

“Menurut pengamat sosial Gombalwijaya dari Universitas Gambulgembol Cendekia Persada….” Waks! Apa sih pengamat sosial? Semacam pelaku hobi menceriwisi kehidupan masyarakatkah?

Media kadang bilang begitu. Menahbiskan orang lain sebagai pengamat bahkan pakar, tanpa menyebutkan latar kemampuan maupun kiprah si tokoh. Pembaca, karena terkena redundansi, akhirnya terbawa.

Penahbisan juga bisa dilakukan dalam keterangan tulisan: “Penulis adalah pengamat sosial.”

Sekarang gantilah “sosial” dengan “humor”, “horor”, “terorisme”, “transportasi”, “telematika”, “multimedia”, atau…. hahahaha… “internet”.

Bukti dan beban

Kepakaran, ekspertisi, keempuan, bukanlah soal gampang. Harus ada bukti penguat. Kepengamatan juga serupa: harus ada bukti.

Pengukuhan keahlian oleh sebuah pihak kepada orang lain, dan apalagi pengukuhan diri, berarti memberi hak kepada khalayak untuk menagih bukti — dan tentu saja juga mengoreksi pernyataannya, sama seperti terhadap setiap orang siapapun dia.

Pada gilirannya, jika penyebutan itu tak pas, bahkan berlebihan, malah bisa membenani si tersebut. “Siapa yang pakar? Siapa yang pengamat? Saya ndak pernah ngaku gitu,” gerutu si tersebut, tapi bantahan itu diabaikan oleh khalayak.

Penyebutan yang aman

Agar tak terjebak dalam main tahbis, media bisa memilih cara yang aman.

Jika menyangkut narasumber atau penulis dari kalangan akademis, sebut saja “dosen psikologi sosial pada Fakultas Psikologi Unversitas Inidanitu.”

Jika ruangnya cukup, info lain yang relevan bisa ditambahkan. Misalnya “…dengan disertasi tentang blablabla…”

Boleh juga dengan info lain, dengan mencantumkan lembaga, baik di dalam kampus maupun luar kampus. Misalnya, “… adalah Direktur Lembaga Studi Perilaku Masyarakat Gombal…”

Haruskah narasumber terujuk membawa cantelan akademis? Nggak. Bisa saja begini, “Penulis adalah pengamat bintang, anggota Klub Astronomi Galaksi Cengengesan.” Atau, “Dadamanuk Bidang, sekretaris merangkap pereparasi teropong Cicicuit Birdwatch Institute…”

Tanpa cantelan lembaga? Juga bisa. Misalnya, “…., seorang warga Mauk, Tangerang.” Boleh ditambahi “(akusukanulis.belogsepot.com)”. Orang biasa juga boleh dan bisa mengemukakan masalah kan?

Skeptisisme terhadap jamu

Bisa saja dalam sebuah rapat perencanaan liputan ada orang media yang secara default mengusulkan “pakar” dalam daftar narasumber. Tanpa hirau apa kebisaan si pakar maupun pengamat. Apa yang dilabelkan oleh media lain terhadap seseorang pasti benar, karena tidak pernah dikoreksi oleh yang dilabeli. Orang pintar, selain minum jamu, pasti serbabisa. :D

Jika menyangkut imaji digital, sesungguhnya narasumber tak hanya satu. Ada sejumlah ahli imaji digital, malah ada yang buka kursus, bikin workshop dan menulis buku.

Jika menyangkut internet fraud, ada sejumlah spesialis keamanan jaringan baik di universitas maupun lembaga keuangan. Ini hanya contoh lho. Jangan lari ke mana-mana.

Bagaimana dengan klaim diri seseorang? Boleh saja. Budiarto Danujaya, misalnya, sering menyebut diri “penikmat sastra dan filsafat“. Bahwa bagi orang lain filsfafat itu kurang nikmat ya bukan soal. Bahwa Kompas, bekas kantornya, menyebutnya sebagai “pengamat sosial“, pasti punya alasan. :) Setahu saya sih Pak Bud memang oke — tak soal apakah dia doyan jamu atau tidak.

Tapi saya belum menemukan bagaimana cara media menyebut dirinya, terutama dalam liputan. Sebagai eseis, cerpenis, wartawan, sarjana filsafat, warga Banten, atau penyuka keris?

Apapun pilihan penyebutan utama pastilah relevan dengan topik. Menanyakan pemilihan gubernur Banten kepada Budiarto sebagai penyuka keris maupun apresiator tosan aji rasanya aneh. Kecuali calon gubernurnya juga suka keris. Ini cuma misal lho, Pak Bud.

Palabelan, tak selamanya mudah

Tentu, saya terbuka terhadap setiap kemungkinan penyebutan terhadap seseorang, yang berkaitan dengan otoritas dan kapabilitas, karena kehidupan ini memang kaya dan ajaib.

Ada Bondan Winarno, ada Seno Gumira Ajidarma, ada Wimar Witoelar, dan… ada Gus Dur. Apa label Anda untuk mereka?

*) Paman Tyo, seorang blogger yang masih doyan nasi tapi buta gizi, dan tak dapat membedakan rasa setiap beras. Tulisan ini tak memperoleh honor(arium) maupun (dis)honour. Menurut sobat saya, ini jenis footer yang “ngidih” dan “ndesit”.finance housing department loan authority alabamaloan k interest rate 401loan 500 mortgage scorealaska loans supplemental1003 applications loansoftware loans access store accounts andadvance application cash application payday loan2007 limits loan conformingagri loansstated loans subprime 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *