PELIT BUKANLAH PELITA HATI, TAPI PENJARA JIWA…
Saya geli sekaligus sedih setiap kali mendapati barang dikerangkeng dan digembok. Seperti boks sentral telepon di Jakarta Barat dan lampu sorot sebuah distro Jakarta Selatan ini.
Geli karena lucu, gitu aja kok dikandangkan — memangnya yang dikerangkeng galak? Sedih karena ada yang tak beres di negeri ini.
Kesenjangan begitu melebar, pengangguran dan si miskin tak diurus oleh negara, apa saja bisa dijadikan uang. Untuk kaum begajulan tanpa modal, apa saja bisa bisa untuk membeli air api dan daun surga.
Lebih sedih lagi, tapi tanpa rasa geli, kalau membayangkan itu terjadi pada diri sendiri. Duit tak ada, padahal anak menagih uang buku, istri meminta angsuran sewa rumah, apapun (mungkin) akan saya lakukan untuk mendapatkan uang.
Kembali kepada gembok. Saya ikuti anjuran tetangga yang punya pengalaman buruk dan tukang yang mudah mengendus peluang kejahatan. Maka jalinan besi penutup parit kecil di depan rumah pun saya gembok.
Taruh kata saya punya uang, tapi jika besi diambil orang tetap saja merepotkan. Malam hari atau pagi buta mencari papan titian bukan perkara mudah. Apalagi kalau saya kurang uang, kan? Duit semeter, seperti difitnahkan oleh Pakde Polonjebluk, hanya terwujud dengan merangkai uang seribuan (rupiah) secara horizontal.
Kepada anak saya katakan, yah beginilah negeri kita: apapun bisa diuangkan, termasuk penutup parit.
Tapi barangkali soalnya ada pada hati kita. Kerelaan bukanlah soal gampang untuk setiap orang. Gembok itu adalah cerminan bahwa saya masih belum mudah berlapang hati dalam urusan duniawi. Harga bukan nggak seberapa, tapi kesal hati sudah pasti tak terkira — misalkan penutup itu hilang.
Ah, terlalu panjang alasan itu. Bagi pelintas dan calon pengambil cuma ada dua kata: “Dasar kikir!”
Saya juga punya dua kata: “Suka-suka!”
Tapi nanti dulu. Di blok lain saya dapati ada warga yang menempuh cara cerdas lagi santun. Penutup parit diberi engsel. Mudah membersihkan parit, tutup tak digondol orang.
Sayang, saya tahunya telat. Mau mencontek sudah kadung — tepatnya: sayang uang. Tak apalah dianggap kurang cerdas dan kurang santun,
Eh tapi, hehehe, di tempat lain ada juga yang sudah diberi engsel masih digembok pula. Mendingan saya, cuma pasang gembok.