↻ Lama baca < 1 menit ↬

EH, JANGANKAN MEMECAHKAN. PEGANG SAJA HARUS BELI.

globe di bandaraGlobe di toko (di Indonesia lho) yang dilintasi banyak orang ini pastilah andalan. Tapi kalau mau tetap utuh mestinya dikandangkan dalam kotak kaca. Kayaknya nggak ada orang yang berminat untuk membeli karena belum-belum sudah malas — atau takut.

Kekurangramahan pedagang memang bisa muncul dalam pelbagai bentuk. Mendesak calon pembeli untuk terus menawar itu juga kurang patut.

“Ayo minta turunin lagi dong. Nawar, jangan cuma nanya harga. Saya ini cari makan,” seorang pedagang kaki lima di Blok M, Jakarta Selatan, pernah begitu terhadap saya.

Padahal saya bukan lagi iseng, jadi apa salahnya menanyakan harga dan kalau tak cocok boleh ke sebelah?

Saru-dua pedagang Malioboro, Yogya, juga ada yang begitu. Kurang njawani. Tak seperti generasi lama yang mencandai sambil meledek pembeli yang keterlaluan menawar: “Ah njenengan itu, lha mbok sumangga barang ini dibawa saja.”

Ada lagi sikap menjengkelkan dari sebagian pedagang: meremehkan pembeli. Tapi ada konsumen yang kalau dibegitukan malah langsung membayar, tanpa menawar, sebagai pembalasan.

Di sebuah stasiun yang dingin, saya juga pernah dicuekin oleh kakek penunggu kios. Akhirnya dia bilang, “Tidak, tidak. Itu mahal untuk Anda,” katanya, sambil menunjuk kartu remi kemasan kaleng yang saya taksir. Tapi dia tak menyebutkan harga.

Kakek satunya, yang lebih simpatik, membisikkan harga kepada saya. “Apakah Anda masih berniat membeli? Atau mau kartu lainnya? Silakan,” ujarnya pelan. Saya menggeleng, bilang terima kasih.

Saya kadung sakit hati. Lebih penting lagi saya nggak mau rugi kali: sudah dihina masih harus jaga gengsi, yang ujung-ujungnya menguntungkan pedagang. Toh selalu ada toko sebelah, kan? Tepatnya: di blok sebelah, atau kota sebelah, atau sebelah negara sebelah, atau benua sebelah.

Saya ingat kisah lama pelukis Jeihan Sukmantoro di Bandung. Ketika menanyakan harga rumah yang ditaksirnya, si penunggu melecehkannya. Lewat orang lain Jeihan membeli rumah itu, lantas mengusir si penunggu.

Sayang, saya bukan Jeihan. Pertama: tidak bisa melukis. Kedua: tidak ber-uang. Ketiga: pelit. Keempat: kadang tak peduli gengsi.

Kalau Anda?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *