BAHKAN DI GERBANG SD PUN JUDI DIGELAR.
Kemarin mata saya menangkap kantong plastik berisi barang dan amplop hitam di sudut gerobak mainan itu. “Apaan tuh?” tanya saya.
“Ada hadiahnya, Oom,” sahut Jack, bukan nama asli, si penjual mainan yang mangkal di depan gerbang sebuah SD di pinggiran Jakarta.
Saya beli dua sampul hitam, @ Rp 1.000. Saya buka. Cuma puzzle 12 keping, dari karton tipis, ukuran 12 cm x 7 cm, bergambar robot. Saya balik. Salah satu punggung keping bercap angka 3. Sampul lain saya buka. Isinya cap “coba lagi”.
Jack tahu saya cuma iseng. Tapi saya berhak menanyakan hadiah: “Nomor tiga ada barangnya?” Saya lihat ada tiruan Tamiya dalam kantong, tapi itu untuk pemenang utama.
“Maaf Oom, udah laku kejual hadiah nomor tiga,” sahutnya. Pepatah Cina bilang, ada tiga hal yang harus Anda ingat saat berjudi: aturan main, pertaruhan, dan kapan harus cabut.
Tapi Jack, saya boleh menambah satu aturan: harus ngotot menuntut hak.
“Mana?” kata saya. Dia diam. Saya ulang, “Ayo, mana?” Akhirnya dia menunjuk mainan yang harganya lebih dari Rp 1.000. “Ambilin yang itu,” kata saya.
Kalau yang menang bocah TK sampai kelas 2 SD, dan hadiah tak diberikan, lantas diganti yang lebih murah, apakah mereka juga akan menuntut?
Godaan kuno bernama judi dihadirkan sejak kita bocah, bahkan undian kadang menjadi pengambilan keputusan yang adil.
Berharap bonus stiker dari wafer kesukaan, belum terlalu menjudi. Tapi membeli barang tak berguna karena ingin hadiah, itu judi. Kupon berbentuk puzzle tipis jelek itu akhirnya toh dibuang oleh anak-anak, baik yang menang maupun kalah.
Judi pertama yang saya lakukan adalah sebelum sekolah. Di jalan anak-anak yang lebih besar membeli lotere terlipat. Saya dibelikan.
Tak ada yang menang. Saya hanya memegang kertas selebar kuku jempol tangan dewasa. Tak ada yang bisa dimakan. Saya menganggap si penjaja lotere itu penipu busuk.
Judi kedua saya lakukan saat SD. Saya beli sempe, semacam kerupuk, dengan bonus menjepretkan kelereng seperti pinball. Kelereng yang tertahan oleh paku mujur akan berbuah hadiah telur pindang rebus.
Saya memenangkan telur. Moral cerita yang saya dapat: kalaupun saya mujur, dapat lebih dari sebutir telur, saya akan mendelik akibat seret, padahal tak ada uang lagi untuk beli minuman penggelontor tenggorokan.
Judi bisa bikin ketagihan. Yang selama ini kaya adalah penyelenggara perjudian. Atau memang orang kaya yang hobi judi. Tapi orang miskin jadi kaya seumur hidup karena judi, tampaknya kok sedikit.
Seperti pemabuk yang menganggap setiap tempat adalah bar, maka penjudi sejati menganggap setiap tempat adalah kasino. Bila perlu warna dasi bos dan menit berakhirnya rapat pun bisa buat taruhan.
Saya (merasa) bukan penjudi, tapi saya setuju legalisasi judi dengan regulasi yang benar. Menjajakan judi untuk anak sekolah? Morally wrong!
Lantas, apa hadiah menang lotere tadi? Ini! :D