↻ Lama baca < 1 menit ↬

WADOOH SUSAH. NDAK BISA TU… (BECERMINLAH, BERKILAHLAH)

nadine chandrawinataDidats mengaku (halo Atta yang tak suka “mengaku”!) belum lancar berbahasa Inggris. Saya? Jauh di bawah Didats. Tertinggal di tempat bila dibandingkan Andry. Payah.

Nadine Chandrawanita? Jelas bagus, tapi banyak yang mengritik eh mengritisi kemampuan bahasanya.

Lantas Ariel Heryanto membelanya, dengan merujuk pemimpin redaksi The Jakarta Post. Mereka menyimpulkan, “Justru karena bahasa Inggrisnya tidak fasih, Nadine mewakili bangsa Indonesia.”

Ketika beberapa hari lalu membaca spanduk toko bernama ngitali di Cawang, Jakarta Timur, saya sempat geli. Ejaan asing dipelesetkan semaunya.

Tapi setelah itu saya becermin. Untuk kasus lain saya bisa juga terpeleset, bahkan lebih parah dan memalukan di depan khalayak ramai maupun sepi.

toko mebel di cawang jakarta

Jangankan bahasa asing, bahasa Indonesia saja masih saya pelajari, dan ternyata susah juga. Bukan hanya soal ejaan melainkan juga tata bahasanya. Kalimat yang kacau, konon, merupakan pancaran pikiran yang kurang tertata. Sudah sering saya dengar keluhan banyak sarjana kita yang kacau dalam berkalimat.

Nah, untuk sejumlah penanya (juga sampai hari ini) mengapa saya tidak ngeblog dalam bahasa Inggris, saya punya sejumlah kilah.

Pertama: bahasa Inggris saya payah; menulis dalam bahasa Inggris berarti sepuluh kali kerja, bahkan lebih.

Kedua: saya menulis untuk orang Indonesia, yang sebagian tinggal di Indonesia, dan mengakses melalui pintu internet Indonesia.

Ketiga: kalau ada orang asing yang ingin memahami tulisan saya, silakan mencari penerjemah — baik manusia penerjemah mapun mesin penerjemah seperti yang tahun lalu dilakukan oleh Pepe si Kertas Bersambungan yang blognya berdesain unik itu.

Alasan pembenar lain? Saya adalah bagian dari generasi Jawa yang tanggung, terutama bila dibandingkan para orang tua. Mereka bisa berbahasa Jawa dengan bagus (melek aksara Jawa), berbahasa Indonesia dengan efektif, dan menguasai setidaknya bahasa Belanda dan Inggris.

Generasi Jawa tanggung seperti saya, lemah dalam semua bahasa. Untunglah kaum yang lebih muda sudah lebih lancar berbahasa Inggris. Saya sudah tua, malas belajar. :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *