HIBURAN TAK MENCERDASKAN? TERGANTUNG KITA DONG!
Dua pekan lalu Pak Walikelas menanya murid kelas delapan yang mayoritas cewek, “Eh gimana tuh Dhani, bener nikahin Mulan nggak?”
Masih ada tambahan dari guru muda lajang itu, “Kalo ada perkembangan kasih tau saya ya.”
Salah satu murid meneruskannya ke meja makan keluarganya sehingga meledakkan tawa bersama.
Pergunjingan memang mengasyikkan. Setengah hati kita merindukan, tapi setengah otak kita menolaknya.
Kita merindukannya karena apapun yang menyangkut sisi pribadi orang lain adalah bahan obrolan nan renyah. Kita menolaknya karena akal sehat, dan gengsi, mengatakan info pribadi orang lain seringkali tak memperkaya kehidupan.
Maka inilah hasil sikap mendua itu. Malu kalau ketahuan doyan ngegosip, apalagi secara lisan karena seolah buang waktu dan energi (orang sinis akan bilang “nggak intelek”), tapi di sisi lain butuh cara sopan untuk mengikuti perkembangan secara diam-diam tanpa harus ngerumpi. Media menjadikan itu sebagai peluang.
Saya jarang mengikuti the-so-called infotainment yang akhirnya terkorting maknanya sebagai gosip tentang pesohor itu. Yang saya dengar, program itu digemari dan laku. Yang ndesit, saya sering mendapatkan forward secara lisan dari pemirsanya.
Meskipun begitu saya heran juga, ada yang menyoal perbandingan porsi pemberitaan pemenang olimpiade fisika dan matematika dengan berita seorang artis yang tetap merahasiakan ayah bayinya. Olimpiade fisika lebih mendidik daripada keberanian beranak tanpa suami, itu pesan yang saya tangkap.
Tapi ini soal hiburan. Pergunjingan juga menghibur — bagi yang doyan. Tentu dengan catatan: tak hanya pergunjingan seputar ranjang dan guling bintang hiburan. Bedanya, apalagi dulu, pergunjingan tentang bisnis Soeharto dan keluarganya dianggap lebih berkelas karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pelontar info mutakhir, meski isinya belum tentu akurat, akan kelihatan gagah: well informed, info (seolah) mendekati A1.
Jika pemangku nilai dan norma mengingatkan keburukan pergunjingan, itu baik adanya karena memang begitulah tugas profetiknya: menyadarkan masyarakat.
Lantas? Semuanya kita kembalikan kepada pemirsa tayangan dan pembaca berita pergunjingan. Kalau tak suka jangan menonton dan membaca itu. Pihak yang dirugikan boleh menggugat media yang mengamini name makes news. Mrs Nobody (apalagi kalau tak cantik) menggampar suami yang juga nobody (nggak keren pula) itu bukan berita nasional.
Terhadap informasi yang (menurut kita) tak mencerdaskan, kita sendiri yang harus cerdas (menurut ukuran kita).