ADA BAKAT BENGIS DALAM DIRI KITA?
Sudah jamak ngamen dengan minus-one. Alatnya ya itu-itu saja. Sebuah kotak terpadu rakitan berisi pemutar kaset, penguat, spiker mid-range, mikropon (ngikuti telephone yang jadi “telepon”). Lebih ringkas ketimbang menenteng gitar, apalagi kibor untuk one-man band.
Itu juga yang tadi saya lihat. Lengkap dengan segala kerepotannya. Memajumundurkan putaran kaset dengan tombol, sambil menyanyi, sementara jari tangan satunya mengepolkan putaran kaset lain supaya mentok ke awal.
Di atas bus kota Mayasari (nama yang tak seindah wujud) tanpa AC itu saya punya ide. Bagaimana kalau pemutar kaset diganti USB flash disk yang sudah mengandung pemutar musik, lengkap dengan keluaran audio?
Siang yang panas. Tak saling kenal pula. Bukan waktu yang tepat untuk mengusulkan kepada si pelantun nan santun itu.
Saya tak siap menjelaskan impian saya, bahwa yang diperlukan “cuma” USB flash disk seharga Rp 250.000. Pengunduhan beberapa lagu bisa meminta tolong juragan warnet. Sepuluh lagu cukup untuk stok harian. Aki bakal lebih hemat karena tak dipakai untuk menggerakkan motor pemutar kaset. Mau minus-one berisi a cappela juga tak lelah. Pakai bumbu scat singing tak usah pusing. Mencoba meniru Al Jarreau tak akan nglokro.
Tiba-tiba lamunan saya berubah jadi kengerian yang belum pernah terbukti. Bagaimana kalau dia ada modal, bisa punya (atau sewa) iPod 60 GB berikut docking-nya yang laik cangklong kayak Groovy Bag, plus alat tambahan buat karaoke (ide norak?), lantas seseorang berduit yang belum sembuh dari rawatan psikiater meminta si pengamen melantunkan semua trek?
Selalu ada kekejaman dalam diri kita. Bahkan saat kita melamunkan sesuatu yang anekdotal. Lantas di mana batas kesehatan jiwa dalam humor?