↻ Lama baca 2 menit ↬

“JADI aku besok nggak boleh nonton TV, Pak?” tanya si bungsu Raras. Dia menanggapi Hari tanpa TV besok Minggu. Kakaknya, Day, yang sudah mendengar Hari tanpa TV itu ikutan, “Iya Pak, nggak boleh? Emang napa?”

Jawaban saya, “Boleh kok. Nggak apa-apa. Toh selama ini kita nonton TV nggak berlebihan.”

Jawaban yang sok bijak tapi gombal. Padahal ukuran siapa yang dipakai? Kalau untuk saya, yah… seminggu paleng banter nonton TV cuma dua jam (uh, lagu lama).

Anak-anak saya? Yah lebih dari sayalah, tapi setahu saya mereka nggak khatam MTV karena kurang waktu untuk menontonnya. Ada sih yang lebih mendasar: pesawat TV di rumah saya cuma satu, kalau tak ada yang menonton ya dimatikan.

Memang ini seperti menentang kelaziman ber-TV. Yang namanya TV itu kalau kadung menyala biasanya susah mati. Si A beranjak, tempatnya digantikan oleh si B, berikut remote controller-nya. Satu pesawat berganti penonton. Bayangkan kalau satu orang satu TV, di kamar masing-masing. Tak ada kontrol. Lagi pula fungsi pesawat TV sebagai tungku perapian pengundang berkumpul jadi luntur.

Jadi? Terserah anak-anak, apakah besok mau nonton TV atau mematikannya. Toh sejauh ini mereka tak menggunakan seluruh waktu di luar belajar dan tidur untuk menonton TV.

Tentang Hari tanpa TV itu, saya sepenuhnya memahami alasan Bobby Guntarto dan barisannya. Saya pun pernah terganggu ketika anak saya dulu, semasih TK, cuma ah-uh ngeri melihat tayangan pencuri dianiaya dalam prime time yang berarti anak kecil belum tidur.

Tapi sori Bob, meski saya, eh keluarga kami, paham niat mulia Anda, kami merasa boleh untuk tak berpartisipasi. Sejauh ini kami belum terlalu dijajah oleh TV.

Oh TV! Dapatkah kita terbebas darinya? Ada pendapat, kabarnya berdasarkan riset, heavy viewer kurang suka membaca. Taruh kata ini benar, tentu tak dapat kita balik: mereka yang suka membaca cenderung kurang suka menonton TV.

Secara kasuistis toh saya jumpai orang yang suka membaca juga suka menonton TV. Bagusnya mereka bisa mengatur waktu.

Tapi terlepas dari manajemen waktu, bagi saya TV dan bacaan, juga internet, adalah soal pilihan dalam mengonsumsi media. Biarkan setiap orang (dewasa) memilihnya.

Memang pendapat saya ini ada bolongnya. Bisa saja muncul sanggahan, kalau masalahnya adalah keterbatasan bahan bacaan karena harganya mahal, padahal yang ada di rumah cuma TV, apakah ada jaminan bahwa keluarga pemiliknya akan selektif terhadap acara TV?

Saya tak punya jawaban, selain pernyataan bahwa kami juga kurang bacaan tapi sampai hari ini TV belum sampai menyala sejak pagi sampai dini hari.

UPDATE: 23/07/06 – 22:02: Hari ini, Ahad, tak tak lama menyala. Bukan karena anjuran, melainkan karena ada kegiatan lain :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *